Selasa, 08 Mei 2012

[Cerpen] Angel

Assalamualaikum! Saya kembali memposting cerpen lama saya. Sedikit bocoran cerpen ini ceritanya tentang kisah seorang anak dan ibunya. Mohon dimakhlumi kalau bahasa cerpen ini agak childish karena saat itu saya masih kelas 7. Sebenernya pengen diedit lagi tapi.... males. Btw, cerita ini akan dibuat bersambung karena lumayan banyak. Langsung aja, happy reading!
***

Shafa, 5 tahun
“Happy birthday to you…
Happy birthday… Happy birthday….
Happy birthday… Shafa…”
Nyanyian-nyanyian itu terus terdengar di sebuah ruang tamu berukuran empat kali empat meter.  Di ruang itu memang sedang berlangsung acara pesta ulang tahun kecil-kecilan yang hanya diikuti oleh Shafa dan ibunya. Setelah bernyanyi dengan suka cita, mereka lalu memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
“Tuhan, berikan kebahagian pada anakku tersayang, Shafa.” kata sang ibu singkat, namun mengandung makna tak terhingga.
“Amin.”  balas sang anak sambil menangkupkan kedua tangan mungilnya di wajah.
Setelahnya, mereka meniup lilin yang berada di atas sebuah cake mini secara bersamaaan. Beberapa menit setelahnya, tawa membahana di seisi ruangan itu, seakan saat itu dunia milik mereka bersama. Tampak dari wajah mereka kebahagiaan, ketulusan, dan kasih sayang satu sama lain. Acara ini memang terkesan sangat sederhana, namun bagi mereka ini adalah pesta terbaik, terindah, dan teristimewa di seluruh dunia.
“Anakku, Shafa, ayo kita jalan-jalan ke taman. Cuaca sedang cerah.” ajak sang ibu pada anaknya sambil menggandeng tangan kecil anaknya dengan lembut. Sang anak hanya mengangguk kecil dan tersenyum manis pada ibunya –mengisyaratkan ‘iya’. Sang ibu membalas senyuman anaknya dengan senyuman malaikat yang tak kalah manis dari anaknya.
Mereka berjalan beriringan dan tak bosan-bosannya menyunggingkan senyuman di wajah mereka.
“Ibu, aku lelah.” keluh Shafa.
“Ah, baiklah. Ayo duduk di sana, sambil makan es krim.” kata ibunya sambil menunjuk sebuah bangku taman yang dekat dengan sebuah rombong penjual es krim.
Shafa mengangguk semangat menanggapi ibunya. Kini mereka duduk berdampingan di kursi taman itu sambil berbincang-bincang kecil dan terkadang mereka tertawa mendengar lelucon satu sama lain, sesekali mereka juga memakan es krim yang telah dibeli. Tiba-tiba Shafa terdiam, gadis kecil berambut hitam pendek itu tengah memperhatikan suatu benda asing yang berada di tanah dengan seksama.
“Ibu, ibu, lihat! Apa itu?” Shafa bertanya kritis pada ibunya.
Dengan ramah ibu menjawab, “Itu burung dara.”
Sosok burung dari yang dari tadi dipandangi oleh Shafa telah terbang kembali. Beberapa menit setelah itu, burung dara itu kembali hinggap di tanah.
“Ibu, ibu, itu apa?”
“Itu burung dara.”
Lalu burung dara itu berpindah tempat lagi namun masih dekat dengan tempat Shafa. Shafa semakin antusias terhadap hal sepele seperti itu.
“Ibu, apa itu??” tanya Shafa kembali mengulangi pertanyaannya untuk ketiga kalinya.
“Itu burung dara, anakku.” jawab ibu Shafa ketiga kalinya dengan tetap sabar.
Hal itu berulang-ulang selama sepuluh kali. Dan selama itu juga Shafa mengajukan sepuluh pertanyaan yang sama dan dijawab dengan sepuluh jawaban yang sama oleh ibunya. Namun selama itu ibunya tetap sabar dan tulus menghadapi anaknya ini.
Saat matahari telah berada tepat di atas kepala, dan di rasa terik. Mereka memutuskan pulang ke rumah.
Lullaby, and good night, with pink roses bedight,
With lilies o’er spread, is my baby’s sweet head.
Lay thee down now, and rest, may thy slumber be blessed!
Lay thee down now, and rest, may thy slumber be blessed!
Lullaby, and good night, your mother’s delight…
Sleepyhead, close your eyes. mother’s right here beside you.
I’ll protect you from harm, you will wake in my arms.
Guardian angels are near, so sleep on, with no fear.
Guardian angels are near, so sleep on, with no fear.

Pada malam hari di dalam sebuah rumah kecil di pinggiran kota Bogor terdengar nyanyian merdu seorang wanita. Lagu nina bobok yang dinyanyikan wanita itu membuat anaknya, Shafa yang berada di pangkuannya terlarut.  Shafa masih sadar sepenuhnya, namun kedua kelopak matanya setengah tertutup. Mereka menikmati angin malam yang perlahan berhembus melalui celah-celah jendela di kamar itu. Angin membelai telinga Shafa, membuat ia tertawa geli. Namun baginya ini terasa nyaman, nyaman sekali.
“Ibu, kapan ayah kembali?” tanya Shafa sambil menatap ibunya.
“…. “ sang ibu hanya terdiam, tidak merespon.
“Ibu? Ayah di mana? Shafa kangen.” tanya Shafa penasaran.
“Ng.. ayah tidak akan kembali, nak.” jawab ibu terkesan ragu-ragu.
“Lho? Kata ibu, ayah akan kembali waktu Shafa ulang tahun.”
“Sayang, ayahmu sudah meninggal… “
“Jadi, kapan ayah pulang?” tanya Shafa lagi. Ibunya hanya terdiam membisu, ia tahu betul bahwa anaknya belum mengerti apa itu ‘meninggal’ dan tentu belum mengerti rasa sakitnya ditinggal seseorang yang disayang.
“Shafa, ayah sudah tidak ada di dunia ini untuk selamanya, jadi ayah tidak akan pernah pulang ke rumah.” jawab ibu kemudian.
Mendengarnya Shafa semakin bingung, banyak pertanyaan ini itu yang berputar di kepalanya. Namun Shafa mengurungkan niatnya untuk bertanya banyak hal pada ibunya ketika ia melihat air mata ibunya mengalir deras di wajah pucat sang ibu.
“Ibu menagis?” tanya Shafa memelankan suaranya.
“Ehm.. tidak… tentu tidak.” jawab ibunya berusaha menyembunyikan suara seraknya.
Lalu Shafa langsung memeluk hangat sang ibu dengan kedua tangan mungilnya.
“Ibu, jangan menangis lagi, cup, cup, cup.” ucap Shafa.
Kata-kata lucu dan pelukan hangat Shafa dapat mencerahkan wajah sang ibu kembali. Ibunya tertawa kecil dan tersenyum simpul seperti sedia kala, lalu ia membalas pelukan anak semata wayangnya itu.
“Shafa, ayo tidur, sudah malam.” perintah ibu sambil menidurkannya di tempat tidur kecil.
“Siap, bos.” jawab Shafa sambil hormat. Tingkah lucu Shafa kembali membuat senyuman ibu terlukis diwajahnya.
“Anakku tidurlah yang nyenyak. Hari esok yang cerah menantimu.” ucap sang ibu sambil mengelus rambut anaknya. Shafa tampak menguap dan mulai memejamkan matanya. Ia menggenggam erat telapak tangan ibunya.
“Mm.. ibu jangan tinggalkan Shafa, tetap di sini.” rengek Shafa.
“Iya, iya, ibu selalu di sini, nak.” ujar ibu lembut. Ibu mendekap erat Shafa, membiarkan anaknya tertidur di pelukannya. Lalu dia mengecup kening putrinya, dan kembali menyanyikan lagu nina bobok dengan suara malaikatnya. Shafa pun tersenyum lalu terlelap .
Shafa 9 tahun
“Shafa, bangunlah.” suara lembut itu berhasil membangunkan seorang anak kecil yang tengah berbaring di atas sebuah kasur putih dalam ruangan berukuran kecil yang serba putih. Anak itu terbangun sebentar lalu kembali tertidur. Melihat hal itu, sang ibu yang terus berusaha membangunkannya memutuskan untuk menyibakkan gorden jendela di ruang itu, sehingga cahaya matahari pagi berhambur masuk. Karena terganggu hal itu, anak itu pun tersadar dan akhirnya terbangun. Ia memandangi sekelilingnya dan agak terkejut bahwa dirinya berada di tempat yang asing.
“Ibu..” panggil Shafa serak.
“Sudah bangun toh? Ada apa?” balas ibu ramah.
Shafa ingin bertanya di mana dia berada dan sedang apa ia di sini, tetapi kalimat itu sulit sekali ia keluarkan dari mulutnya, tenggorokannya serasa tercekat sesuatu. Namun ibunya seperti dapat membaca pikirannya.
“Sekarang Shafa ada di rumah sakit, Shafa kan sedang  sakit demam.” ujar ibunya. “Kamu dirawat di sini sudah…. satu bulan.” lanjut ibu ragu.
Shafa langusung membelalakkan matanya begitu mendengar perkataan ibunya itu. Ia terkaget bahwa ia telah diopname di rumah sakit selama sebulan, dan selama itu pula ia tak sadarkan diri. Apa demam yang dideritanya begitu parah? Ia juga berfikir tentang sekolah serta teman-teman yang telah ditinggalkannya. Tanpa disadar cairan bening dari matanya menetes membasahi pipi pucatnya. Segera, sang ibu merangkul putrinya.
“Shafa, jangan menangis. Ada ibu disini. Ibu selalu menemani Shafa. Cup, cup…” kata ibu berusaha menenangkan anak satu-satunya itu.
“I..ibu… ta..kut.” kata Shafa terbata-bata.
“Iya, iya, tenang sayang, ibu selalu di sampingmu. Jadi jangan cemas. Oh ya, kata dokter, Shafa boleh pulang 3 hari lagi. Saat itu kita akan main ke taman bermain dan beli es krim coklat ya.”
Shafa mengangguk kecil dan menghapus air matanya, namun beberapa kali ia masih sesenggukan. Lalu ibunya segera mengambil segelas susu coklat hangat dan menyodorkannya pada Shafa. Ibunya berkata bahwa susu coklat hangat itu dapat menghangatkan hati dan jiwa kita. Shafa yang percaya dengan perkataan ibunya langsung menghabiskan minuman itu dalam beberapa kali tegukan. Tawa dan senyum kembali terpancar di wajahnya. Sang ibu yang melihatnya merasa bahagia sekaligus terharu.
Tiga hari kemudian, di pagi hari ibu Shafa mengajak Shafa berjalan-jalan di taman bermain setelah Shafa check out dari rumah sakit, sesuai janjinya. Memang sebenarnya dokter berkata bahwa kondisi Shafa belum sehat sepenuhnya dan diharuskan beristirahat dengan baik di rumah. Namun tentu saja Shafa tak akan menuruti kata-kata dokter itu. Ia ingin kebebasan. Setiap orang pastilah akan stress jika harus dikurung tiap hari.
Di sana Shafa berlari, tertawa, bermain, dan menikmati setiap tempat sepuasnya.Terkadang ia bertemu dengan temannya dan bermain bersama. Ibunya pun terkadang ikut serta. Bermain pasir-pasiran, ayunan, seluncuran, dan sebagainya. Terlukis di wajah Shafa kebahagiaan yang tiada bandingannya. Sang ibu hanya memandanginya dari kejauhan dengan senyuman yang selalu merekah di wajahnya. Namun ia tetap memperhatikan anaknya dengan was-was.
Tiba-tiba sang ibu melihat ada sebuah bola karet yang meluncur menuju kepala anaknya. Sontak sang ibu terkaget dan berteriak pada anaknya “SHAFA?!” Namun Shafa tak mendengar teriakan ibunya, dan terus berkutat pada permainan yang ia mainkan. Saat bola itu hampir mengenai kepala Shafa, ia segera menangkapnya dengan semangat. Rupanya Shafa  memang sedang bermain bola, bukannya tidak sengaja terlempar bola. Sang ibu terlalu ketakutan dan khawatir terhadap anaknya. Ia sangat menyayangi Shafa, dan ia tak mau kehilangan putri semata wayangnya itu.
Lalu setelah merasa lelah bermain bola, Shafa berjalan menuju ibunya. Sang ibu langsung membentangkan tangannya lebar-lebar dan Shafa langsung jatuh ke dalam pelukannya. Ibunya membelai rambut Shafa dengan penuh kasih.
“Ibu menangis lagi?” tanya Shafa heran saat melihat air mata di pelupuk mata ibunya.
“Tidak apa-apa, sayang.” jawab ibu dengan sedikit sesenggukan.
“Tenang bu, ada Shafa di sini.” ucap Shafa polos.
Sang ibu pun tersenyum, terenyuh dengan kata-kata polos anaknya. Ucapan Shafa berhasil membuang  jauh-jauh rasa takut dan khawatirnya.
“Ibu.. capek… ayo pulang.” rengek anak bertubuh mungil itu. Sang ibu langsung menggandengnya. Mereka berjalan menysuri pinggiran jalan raya.
“Ibu gendong!” rengek Shafa lagi.
“Eh? Shafa kan udah gedhe?” ucap ibu.
“Aaaahhh…. capek.. ” rengek Shafa semakin menjadi.
“Ya sudah, kita naik becak saja ya.” ucap ibu prihatin.
Shafa tak menjawab, ia hanya cemberut dengan mengrucutkan mulutnya.
Inilah salah satu cobaan seorang ibu ketika menghadapi anak yang mudah ngambek. Akhirnya mereka memanggil becak, dan segera menuju rumah dengan naik becak. Sepenjang perjalanan Shafa tetap murung. Sang ibu tak kehabisan akal untuk mencerahkan wajah anaknya kembali. Ia membuka kain penutup yang menutupi atap becak, sehingga kini di atas kepala mereka tampak pemandangan langit biru. Langit yang cerah dan sangat biru. Tanpa terhalang oleh awan. Udaranya sejuk meski matahari bersinar terik.
“Shafa, coba lihat ke atas.” ibu menunjuk ke arah langit di atas mereka.
Shafa tak menjawab dan langsung menuruti ibunya dengan agak terpaksa. Namun setelah melihat ke langit, Shafa terus memandanginya dengan tatapan kagum dan mulutnya yang semula ia kerucutkan berubah menjadi senyuman.
“Bagaimana? Luar biasa kan?” tanya ibu.
Shafa mengangguk semangat. Tampaknya ia telah melupakan rasa letihnya.
“Ibu, indah.. sekali..” ucap Shafa.
“Hmm…. coba tarik nafasmu dalam-dalam.. dan keluarkan…hmm.” ujar ibunya seraya mempraktekkan.
Shafa mengikuti ibunya.
“Bagaimana? Nyaman bukan? Untung udara di sini masih segar tidak seperti di kota. Di sini masih banyak pepohonan rimbun yang bisa menghasilkan udara bersih, sedang di kota hanya ada gedung-gedung dan polusi di mana-mana. Shafa harus bisa menjaga lingkungan supaya tetap bersih. Kalau udah besar, Shafa harus bisa jadi orang berguna untuk lingkungan.” jelas ibu panjang lebar.
Shafa mengangguk semangat, tanda mengerti.
“Ibu, aku suka….. aku suka langit biru… suara burung berkicau… aliran air sungai… semuanya aku suka!” ujar Shafa semangat.
Ibu bahagia telah berhasil membuat Shafa bahagia. “Iya, anakku, makadari itu kita harus bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah menciptakan semua ini.”
“Oh ya, bu, satu lagi… aku suka mataku.” kata Shafa polos. “Kalo gak punya mata, aku gak bisa melihat semua yang indah-indah.” Dari mata hitam bulatnya terpancar kebanggaan.
Mendengarnya, ibu merasa tertegun. “Ng, iya anakku, tentu.”
Keduanya saling memandang satu sama lain sambil tersenyum lebar menunjukkan deretan gigi putih mereka.
Shafa 12 tahun
“Ibu, Shafa, minta izin untuk melanjutkan sekolah di Jakarta ya. Nanti aku tinggal di rumah paman. Boleh ya?” Shafa yang kini telah lulus SD dan memutuskan untuk bersekolah di SMP populer yang berada di ibukota Indonesia yaitu Jakarta. Ia anak yang sangat pintar di sekolahnya. Ia ingin mencari ilmu yang lebih baik dan bermutu. Ia tak ingin terpuruk pada pendidikan di desanya yang bisa dibilang rendah.
Sang ibu yang mendengar permintaan anaknya hanya terdiam, ia memikirkan banyak hal tentang bersekolah di tempat itu. Apa dampak baik dan buruknya Shafa bersekolah di sana, apa saja kebutuhan Shafa ketika bersekolah di sana, bagaimana keadaan Shafa saat bersekolah di sana, bagaimana ibunya bisa berkomunikasi dengan Shafa saat bersekolah di sana, bagaimana biaya hidup dan sekolah Shafa di sana, dan sebagainya. Pikiran-pikiran khawatir dan was-was itu berputar di kepala ibu.
“Ng, kenapa  Shafa mau bersekolah di sana?” tanya ibu.
“Shafa mau jadi yang terbaik, makadari itu Shafa mau bersekolah di sekolah yang terbaik pula.”
“Lalu kenapa Shafa tidak mau bersekolah di sini?” tanya ibu lagi.
“Ibu, sekolah di sini itu pelajaran dan kurikulumnya ketinggalan dengan sekolah di kota, jadi Shafa khawatir tidak bisa menjamin untuk masuk ke sekolah menengah atas maupun universitas yang baik.” jelas Shafa.
 “Lalu apa Shafa yakin berani tinggal di Jakarta?”
“Ya! Shafa yakin! Lagipula Shafa akan tinggal dengan paman bukan? Jadi ibu tak usah khawatir. Shafa bisa jaga diri kok.” ucap Shafa menjawab semua keraguan ibunya.
“… Rupanya Shafa sudah besar ya? Padahal rasanya baru kemarin ibu punya anak bayi.”
“Ah, ibu?! Jadi bagaimana?”
“Iya, iya boleh..”
“Yeee….!! Makasih ibu!” sorak Shafa girang.
“Eits, tunggu, apa kamu tak kangen pada ibu?” ucap ibu cemberut.
“Haha… ibu kekanak-kanakan sekali. Iya, iya, bu aku pasti akan selalu ingat ibu.” kata Shafa sambil memeluk hangat ibunya.
“Begitu baru namanya anak ibu…” ucap ibu berusaha memasang senyum dan menghapus kekhawatiran. Namun yang dikhawatirkan ibunya kali ini adalah mengenai biaya sekolah. Sang ibu pun dalam hati berjanji akan bekerja membanting tulang demi membiayai sekolah anaknya hingga kuliah.
Beberapa minggu setelah tes SMP dan Shafa diterima di salah satu SMP popular di Jakarta, akhirnya datang juga hari ini, hari dimana Shafa berangkat menuju Jakarta.
“Ibu, sampai jumpa! Aku akan selalu ingat dan merindukan ibu!” kata Shafa seraya memeluk ibunya.
“Iya, Shafa. Ibu juga. Belajar yang giat ya. Jangan lupa rajin shalat dan berdoa. Jangan telat makan. Dan juga banyak-banyaklah beristirahat. Kalau ada apa-apa nanti telpon ibu ya. Ibu akan selalu mendoakan kamu.” ucap ibu sambil menangis tersedu-sedu.
“Ibu, jangan menangis. Setiap bulan Shafa akan pulang ke Bogor kok. Terus, akan Shafa usahakan telpon ibu setiap hari. Jadi, ibu gak usah cemas ya?” ucap Shafa berusaha menenangkan ibunya.
Acara perpisahan antara ibu dan anak ini di terminal, mereka akhiri dengan saling berpelukan dan menangis selepasnya.
“Ibu, dadah!” teriak Shafa yang berada di atas bus melalui jendela kepada ibunya.
“Iya, Shafa. Jadi anak yang baik ya.” teriak ibunya sambil melambai-lambaikan kedua tangannya.
Shafa juga membalas melambai-lambaikan tangan. Sampai akhirnya bus yang ia tumpangi berjalan. Di dalam bus, ia berusaha menghilangkan rasa sedihnya dengan memikirkan hal-hal menyenangkan yang akan terjadi saat ia bersekolah di Jakarta.
Tiba-tiba bus berhenti, dan seorang wanita paruh baya dengan anaknya yang masih balita masuk. Anak balita itu menangis mengerang-erang mungkin karena ketakutan berada di dalam bus ramai ini. Sang ibu berusaha menenangkannya. “Cup, cup, cup, jangan menangis, ibu ada di sini.” Sang anak tak menghiraukan dan tetap menangis, namun sang ibu tak habis akal “Ci..luk..ba.. Niko, mama punya permen, mau?” Sang anak yang melihatnya langsung tertawa dan mengambil permen pemberian ibunya dengan senang hati. Ibunya pun tersenyum melihat anaknya itu dan langsung merangkulnya.
Melihat hal itu, Shafa yang melihatnya kembali menumpahkan air matanya. Ia teringat oleh sang ibu yang sering melakukan hal itu padanya saat kecil. Sempat terlintas di pikirannya untuk kembali ke rumah dan bersekolah di desanya di Bogor. Ia menyesali kepergiannya ke Jakarta. Namun ia terus meneguhkan hatinya. Ia terus berfikir positif bahwa inilah jalan untuk menjadi sukses di kemudian hari sehingga ia bisa membahagiakan ibunya. Ya, tujuan hidup Shafa satu-satunya adalah membahagiakan ibunya.
Sesampainya di terminal Jakarta, di sana Shafa telah di jemput oleh paman dan tantenya. Paman yang merupakan adik almarhum ayah Shafa itu sangat baik terhadapnya, begitu juga istrinya. Sehingga Shafa sangat bahagia tinggal di rumah mereka. Shafa baru pertama kali ke rumah paman dan tantenya. Sesampainya di rumah mereka, Shafa membelalakkan matanya, rumah pamannya tak seperti yang diduganya. Rumahnya besar namun sangat kumuh dan kotor seperti tak diurus-bertahun-tahun.
“Er, paman, aku tidur di mana.” tanya Shafa.
“Oh iya, ayo ikut.” jawab paman. Shafa membuntuti pamannya menuju sebuah kamar yang letaknya di belakang bagian rumah. “Ini kamarmu, kalau terasa kurang nyaman, kau bisa merapikannya.” kata paman sambil membuka pintu calon kamar Shafa.
Melihat keadaan di dalam kamar itu, membuat Shafa terkaget. Tempat itu tidak bisa dibilang kamar! Lebih tepatnya adalah gudang! Namun Shafa tak bisa menolak, ia hanya bisa mengangguk kecil dan tersenyum kecut. Lalu paman mengacak rambut Shafa halus dan pergi meninggalkannya.
Shafa membatu melihat pemandangan mengerikan kamarnya. Kardus-kardus bekas, kasur berkutu, kursi reyot, bantal, guling, dan selimut yang kasar, meja rusak, tembok kusam, lantai berdebu, dan yang lebih parah di kamar ini hanya ada satu ventilasi sehingga kamar ini lembab dan bau tentunya. Shafa hampir menangis memikirkannya, ia tak tahu bagaimana jadinya ia tinggal di kamar itu. Padahal ia kira paman dan tantenya baik, tapi kenyataannya pamannya telah membiarkan keponakannya yang baru berusia 12 tahun untuk tidur di gudang mengerikan itu. Daripada termenung memikirkan penderitaan ia segera merapikan kamar yang seperti kapal pecah itu, meski alhasil hanya berubah 50% menjadi lebih baik. Pikiran menyesal terlintas lagi dalam pikirannya, namun ia tetap teguh pendirian. Ia berkata dalam hati “Inilah perjuangan menuju kesuksesan”.

Keesokan harinya, merupakan hari pertama Shafa masuk sekolah barunya. Tadi malam ia tak bisa tidur disebabkan tempat tidurnya yang tak nyaman juga karena ia sangat memikirkan sekolah barunya. Pertanyaan-pertanyaan seolah terus berputar dalam kepalanya. Bagaimana keadaan sekolahnya, apa ia akan mendapat teman, apa dia dapat mengikuti pelajaran dengan baik, dan sebagainya.
“Paman, tante, selamat pagi!”  sapa Shafa kepada paman dan tantenya yang sedang sarapan di meja makan.
“Selamat pagi, Shafa. Bagaimana tidurmu?” sahut paman dengan memaksakan senyuman.
“Ng, enak kok,”  jawab Shafa bohong.
“Oh, ayo ikut kami sarapan.” ajak paman.
Istrinya yang berada di sampingnya sengaja menyenggol lengan paman, lalu membisikkan sesuatu padanya. “Budi! Kenapa kau harus bersikap baik pada anak ini!”
Lalu paman menjawabnya juga dengan bisikan “Hei, hei, bisakah kau bersikap manis terhadap anak ini? Kita dapat mengambil keuntungan darinya.”
 “Eh? Bagaimana bisa? Ayahnya kan sudah meninggal?”  tanya tante heran.
 “Meninggal, sih meninggal, tapi hartanya kan masih berada di tangan istrinya, Maisaroh?” jawab paman sambil tersenyum licik.
Mendengar pernyataan dari sang suami, tante pun bungkam dengan muka merah padam. “Er, Shafa.. kau bisa duduk di sebelah tante, sini.” kata tante tiba-tiba dengan nada yang bersahabat.
Shafa pun menurutinya dan ikut sarapan bersama mereka. Suasana sarapan sangat hening dan hanya diiringi suara piring dan sendok yang saling bergesekan.
“Hm.. tante masakannya enak. Tante pintar masak ya?” kata Shafa memecah keheningan.
“Ah, terimakasih, tapi ini masakan pamanmu.” balas tante merasa tersindir. Paman yang cekikikan mendengarnya.
“Ng, paman dan tante tinggal di sini sudah berapa lama?” tanya Shafa basa-basi.
Paman dan tante yang mendengarnya langsung terkaget sehingga tersedak makanan yang mereka makan. Refleks Shafa segera menyodorkan air putih pada paman dan tantenya. “Yang hati-hati paman, tante.” Mereka segera menegak habis air putih itu.
“Shafa, ta..tadi kamu tanya sudah berapa lama kami tinggal di sini kan? Ng, kami tinggal di sini sudah 4 tahun, eh bukan tapi 5 setengah tahun.” ujar paman gelisah.
“Eh? bukan.. yang benar 7 tahun.” sambung tante dengan tampang keringat dingin.
Shafa membatin dalam hati bahwa mereka adalah pasangan suami istri yang aneh sekaligus mencurigakan.
“Shafa, kau tidak berangkat sekolah?” tanya paman tiba-tiba mengganti topik pembicaraan.
“Oh iya,” sahut Shafa.
“Ayo paman antar kamu ke sekolah, ini kan hari pertamamu.” kata paman. Shafa membalasnya dengan anggukan.
Mereka menuju sekolah dengan naik mobil box milik paman. Sesampainya di depan gerbang sekolah, Shafa segera turun dan mengucapkan sampai jumpa pada pamannya. Begitu memasuki gerbang, Shafa ternganga melihat kemegahan sekolah tersebut. Ia hampir tidak percaya telah bersekolah di sini. Sekolah ini terlalu luar biasa dipandangannya. Halaman yang luas, taman yang hijau asri, penataan lokasi tiap sarana yang rapi, arsitektur bangunan sekolah yang apik, dan murid-muridnya yang elit-elit.
Saat memasuki kelas, Shafa merasa sangat canggung, semua mata menatap tajam ke arahnya. Banyak dari mereka memasang tatapan sinis saat melihat penampilan kampungannya. Ya, penampilannya memang kampungan, rambut dikelabang dua, kerah seragam terkancing rapi, rok di bawah lutut, dan kaos kaki setinggi lutut. Ia berusaha tak mengacuhkannya. Ibunya pernah berkata padanya, bahwa ia harus menjadi dirinya sendiri. Ia percaya suatu hari nanti, ia akan dapat bergaul dengan mereka.
Sudah beberapa 3 minggu ia bersekolah di SMP itu. Ia merasa sudah berusaha beradaptasi sebaik mungkin, namun tetap saja ia tidak betah. Orang-orang dan lingkungan di sana sangat berbeda dengan desa. Mulai dari kebiasaan berpakaian, bahasa, dan tingkah laku. Shafa merasa jauh dari rasa aman, nyaman, dan bahagia. Karena faktor-faktor itu pula kini nilai pelajaran Shafa menurun drastis dan ia mudah stress ataupun emosi. Setiap hari ia sangat sedih dan merindukan ibunya. Ia ingin segera bertemu ibunya. Ia ingin sekali menceritakan segala kepenatannya pada ibunya yang tercinta itu, namun ia urungkan niatnya, ia juga tak ingin membuat ibunya cemas.
.:: TO BE CONTINUED ::.
P.S : Pada part kedua  menceritakan ketika Shafa sudah 17 tahun. 

Kalau Anda Suka Entry Ini Like dan Comment

1 komentar: